Kamis, 19 Januari 2012

Riwayat Saya


PART #4
          Keadaan sudah berbeda sejak kejadian itu, mulai dari berangkat sekolah yang dahulu bertiga, kini sering berdua bersama Lina, bekerja kelompok dan mengerjakan tugas pun rasanya sudah berbeda, dulu aku yang senang mengerjakan bersama-sama, lebih senang mengerjakan sendiri, walaupun masih terkadang bersama Lina. Begitu pula dengan berangkat les Fisika, dahulu kita selalu bertujuh, sekarang harus berenam saja, sempat kami merasakan aneh dan hambar, namun apa daya, keadaan memang sudah berubah. Yang harus kami lakukan hanyalah tetap memandang masa depan yang harus kita jalani dan tidak mengulangi kesalahan yang dilakukan oleh sahabat kami.
Kejadian demi kejadian kami lewati dengan suasana baru, dikelas, istirahat. Namun dari situlah kebesaran hati untuk menerima sesuatu dilatih. Kami harus kuat dan tegar, kami tak boleh haru dalam kesedihan secara terus-menerus. Banyak hal lain yang lebih indah, yang telah menunggu untuk kami jajaki bersama. Kami mengikhlaskan apa yang sudah terjadi. Kami memulai lagi dengan lembaran yang baru. Kammi masih bayi dalam kepompong, dan inilah awal yang baik untuk kami belajar memaknai hidup yang sesungguhnya. Memaknai hidup yang keras, asam manis kedihupan yang nantinya pasti kita rasakan, inilah permulaan, yah, baru permulaan, akan adalah yang lebih besar dan sudah menanti kita semuanya.
Seiring bergulirnya waktu, aku sudah duduk di kelas dua belas, dan sebentar lagi akan menghadapi ujian nasional terakhirku, perjuangan, perhelatan, persaingan, untuk dapat melanjutkan ke jenjang berikutnya. Namun, aku saat itu belum memutuskan kemana aku setelah SMA. Bapak yang selalu memberi dorongan untuk aku dapat memasuki keperawatan saja, namun dalam benakku tak merasakan keinginan yang besar. Dan aku sendiri tak tahu apa yang aku inginkan, sehingga aku hanya mengikuti arus, namun aku memiliki keyakinan untuk bisa masuk dalam perguruan tinggi negeri, dimanapun itu. Di dalam dilemaku menentukan tujanku setelah SMA, aku bersyukur karena aku juga di didik oleh sebuah LSM yang membina organisasi yang aku ikuti. Ikatan Kader Motivator yang di bina oleh LSM PEKA, disanalah aku banyak belajar, aku mengeruk segala ilmu yang disajikan. Entah bagaimana teknisnya, aku sendiri kurang memahaminya, namun yang pasti ilmu itu sedikit demi sedikit masuk dan tersaring kedalam diriku. Berbagai karakter dan berbagai sekolah menjadi satu di dalamnya, tidak ada kata adik dan kakak kelas, tidak ada sekolah A, B, C, etc. semuanya melebur menjadi satu dalam organisasi. Manis pahit asam banyak aku terima dan rasakan dalam setiap kegiatan dan apapun yang di adakan, mungkin darisinilah semuanya itu ada dalam diriku, dan sejak masuk disinilah aku menjadi berubah 180 derajat dari yang dulu. Hingga pada akhirnya masa ujian sudah di depan mata.
Aku dan sahabat sahabatku lebih keras lagi dalam belajar, namun masih banyak ternyata yang belum kami kuasai, dan ternyata bukan kami saja,semua teman-teman kami merasakan hal yang sama. Jika ada pilihan untuk menunda mengikuti ujian, pasti kami semua memilih untuk mengundurnya. Namun pilihannya hanya ada dua, mengikuti dan berusaha semaksimal mungkin untuk bisa lulus dengan maksimal atau mundur dan mengulang masa SMA selama satu  tahun lagi. Tentunya kami tak mau untuk mengulang satu tahun lagi, kami berusaha semaksimal mungkin untuk mengejar apa yang belumbisa kami kejar. Apapun cara untuk kami bisa mengejar ketinggalan kami lakukan, les, kelompok, apapun kami lakukan.
Disamping kita harus belajar, kita juga harus memutuskan kemana kita setelah masa SMA ini. Berbagai tawaran dari berbagai universitas datang kesekolah, mengadakan bazzar universitas secara serentak. Namun aku sama sekali belum mendapatkan kecerahan kemana aku nanti, namun aku memutuskan untuk masuk dalam perguruan tinggi negeri. Tawaran demi tawaran dari perguruan tinggi swasta yang banyak mampir ke sekolah kami(secara sekolahku sekolah swasta). Banyak temanku yang memutuskan untuk masuk ke dalam perguruan tinggi swasta, dan segala keperluan berkasnya telah di urus oleh sekolah. Namun aku tak pernah mendengar sedikitpun tentang perguruan tiinggi negeri, hanya kata ya dan ya dan ya saja yang aku dengaran saat itu dari guru-guruku. Hingga pada saatnya, aku mendengar dan aku mulai sirfing di dunia maya untuk mendapatkan informasi yang aku butuhkan. Apapun informasi yang aku dapatkan aku oelajari dan aku mengerti, meski banyak yang tidak aku mengerti teknisnya, namun untuk ada kakak ku yang sudah berada di perguruan tinggi dua tahun di atasku, dialah yang menjelaskan kepadaku tentang apa yang aku bingungkan.
Hingga pada akhirnya aku mengerti tata caranya, aku meninformasikannya kepada teman-teman dan guru-guru yang menangani hal ini. Namun tetap, aku malah tak direspon sedikitpun, malahan aku di anggap sebagai budaknya, setiap hari aku menginformasikan, dan tidak ada yang bertanya kabar dan keinginan untuk membahasnya denganku. Dan aku sadar jika mereka bersikap seperti itu, aku hanyalah siswa dari keluarga miskin, bapak ku hanyalah seorang tukang becak dan juga bekerja serabutan, ibu ku hanya ibu rumah tangga yang membantu dengan bekerja, penghasilan yang pas-pas an, status yang melatarbelakangi, yah. Namun aku tak pernah sedikit pun merasa sedih jika semua orang menganggap aku seperti itu, aku hanya tulus menolong, namun apa balasannya, aku diperlakukan seperti itu. Hingga pada akhirnya aku memutuskan untuk memohon kepada kepala sekolah, meminta ijin untuk memproses segala sesuatunya sendiri, dan aku akan menginformasikan kepada teman-teman, dan jika tidak ada yang merespon, biarkan mereka sendiri yang nantinya akan menerimanya, karena aku bukan mesin dan budak untuk melengkapi dan menyediakan untuk mereka.
Dan akhirnya tutup sudah pendaftaran itu, banyak yang kecewa dan tidak mendaftar. Namun semuanya sudah berlalu. Aku sejak saat itu mulai dimusuhi dan tidak di anggap, terutama guru-guru yang ada disana. Entah apa yang ada dalam pikiran mereka, apakah mereka malu karena aku mampu, dan mereka merasa tersaingi atau bagaimana. Aku didudukkan di salahkkan di hina, aku menerimanya dengan lapang dada. Hingga pada akhirnya ada seorang wali murid yang datang karena tidak terima anaknya tidak dapat mendaftar ke perguruan tinggi negeri, datang kesekolah dan ternyata dari situ pihak sekolah justru melimpahkan semuanya kepadaku. Aku didudukkan dengan wali murid itu bersama guru agamaku, dan di sana aku di lecehkan di hina sampai sampai aku di pukul oleh wali murid yang bukan orang tuaku. Hingga pada akhirnya kami keluar, aku menangis sekeluar dari sana, apakah ini cobaan ya Tuhan, kenapa seberat ini ya Tuhan, mampukah hamba?. Hanya itu yang aku ucap, aku menangis bukan karena aku di lecehkan, namun kedua orang tuaku lah yang mereka lecehkan, bagaimana pun orang tua ku, hanya mereka yang aku miliki, membuat aku bahagia, dan tak ada seorang pun yang boleh menghina mereka.
Setelah sore kejadian itu berlalu, aku membawanya ke rana hukum, karena aku di tampar disana, dalam keadaanku  yang tidak sehat pula, dan tanpa hak mereka menampar aku. Dan pada akhirnya itu di proses. Semua berkas masuk, wartawan juga sempat datang kesekolah. Namun, aku di anggap hanya menggertak, guru agama ku mengecek ke kantor polisi dan ternyata berkas sudah diproses, baru sadar dan percaya, memohon merayu membujuk untuk aku mencabut hal itu. Dan sama sekali aku tak merespon, aku hanya ingin memberikan pelajaran bagi mereka yang sudah melecehkanku, dan jangan sampai ada bucha bucha yang lainnya. Hingga pada akhirnya lima hari sebelum ujian nasional adalah sidang pindana pertama ku melawan guru dan wali murid, aku berangkan sendir ditemani bapak ku, dengan support dari berbagai pihak, aku menjadi kuat, dan pada akhirnya aku mengalahkan mereka berdua serta pengacara yang mendampingi mereka. Menangis di kantor persidangan, sebelum persidangan dimulai, datang dengan tidak tepat waktu, sudah menandakan ketakutan dari mereka. Bahkan saat itu yang menjadi saksi adalah guru agama ku, dia juga orang yang membenciku, hanya bertekad keberanianlah aku memakai dia yang memusuhi aku, karena jika dia berani mengatakan apa yang sebaliknya, maka hilanglah predikatnya sebagai seorang guru agama. Selepas persidangan itu, hukuman di jalankan bagi mereka, dan aku tetap mengikuti sekolah seperti biasanya dan siap menghadapi soal-soal unjian nasional. Dan yang lebih membuat aku percaya diri saat itu bukan karena itu saja, karena aku juga sudah diterima di salah satu perguruan tinggi sebelum ujian nasional, dan hanya aku yang berhasil masuk pertama dari sekian banyak temanku (aku masuk bukan dari jalan yang menjadi persidangan itu, namun dengan jalan lain).
Setelah pengumuman tiba, ijazah dibagikan, aku merasakan hal yang sama, ijazah yang sudah ditunggu untuk registrasi ulang tidak kunjung di berikan, hingga pada akhirnya aku memaksa dan mengancam hingga ijazah itu aku dapatkan. Dan semenjak kejadian itu pula aku tidak begitu peduli akan apa yang terjadi di sana, sejatinya bukan aku yang mengawali kejadian itu. Aku disana hanya sebagai siswa, namun karena keadaan yang memaksa, aku menjadi banyak tahu tentang guru dan sekolahku. Yang aku bisa lakukan hanyalah mendoakan mereka untuk bisa berubah kearah yang lebih baik saja. Janganlah perilaku yang buruk terus ada dalam diri mereka, sadar dan berbuat baiklah selagi masih ada kesempatan untuk melakukan hal itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar