PART #4
Keadaan
sudah berbeda sejak kejadian itu, mulai dari berangkat sekolah yang dahulu
bertiga, kini sering berdua bersama Lina, bekerja kelompok dan mengerjakan
tugas pun rasanya sudah berbeda, dulu aku yang senang mengerjakan bersama-sama,
lebih senang mengerjakan sendiri, walaupun masih terkadang bersama Lina. Begitu
pula dengan berangkat les Fisika, dahulu kita selalu bertujuh, sekarang harus
berenam saja, sempat kami merasakan aneh dan hambar, namun apa daya, keadaan
memang sudah berubah. Yang harus kami lakukan hanyalah tetap memandang masa
depan yang harus kita jalani dan tidak mengulangi kesalahan yang dilakukan oleh
sahabat kami.
Kejadian demi kejadian
kami lewati dengan suasana baru, dikelas, istirahat. Namun dari situlah
kebesaran hati untuk menerima sesuatu dilatih. Kami harus kuat dan tegar, kami
tak boleh haru dalam kesedihan secara terus-menerus. Banyak hal lain yang lebih
indah, yang telah menunggu untuk kami jajaki bersama. Kami mengikhlaskan apa
yang sudah terjadi. Kami memulai lagi dengan lembaran yang baru. Kammi masih
bayi dalam kepompong, dan inilah awal yang baik untuk kami belajar memaknai
hidup yang sesungguhnya. Memaknai hidup yang keras, asam manis kedihupan yang
nantinya pasti kita rasakan, inilah permulaan, yah, baru permulaan, akan adalah
yang lebih besar dan sudah menanti kita semuanya.
Seiring bergulirnya
waktu, aku sudah duduk di kelas dua belas, dan sebentar lagi akan menghadapi ujian
nasional terakhirku, perjuangan, perhelatan, persaingan, untuk dapat
melanjutkan ke jenjang berikutnya. Namun, aku saat itu belum memutuskan kemana
aku setelah SMA. Bapak yang selalu memberi dorongan untuk aku dapat memasuki
keperawatan saja, namun dalam benakku tak merasakan keinginan yang besar. Dan aku
sendiri tak tahu apa yang aku inginkan, sehingga aku hanya mengikuti arus,
namun aku memiliki keyakinan untuk bisa masuk dalam perguruan tinggi negeri,
dimanapun itu. Di dalam dilemaku menentukan tujanku setelah SMA, aku bersyukur
karena aku juga di didik oleh sebuah LSM yang membina organisasi yang aku
ikuti. Ikatan Kader Motivator yang di bina oleh LSM PEKA, disanalah aku banyak
belajar, aku mengeruk segala ilmu yang disajikan. Entah bagaimana teknisnya,
aku sendiri kurang memahaminya, namun yang pasti ilmu itu sedikit demi sedikit
masuk dan tersaring kedalam diriku. Berbagai karakter dan berbagai sekolah menjadi
satu di dalamnya, tidak ada kata adik dan kakak kelas, tidak ada sekolah A, B,
C, etc. semuanya melebur menjadi satu dalam organisasi. Manis pahit asam banyak
aku terima dan rasakan dalam setiap kegiatan dan apapun yang di adakan, mungkin
darisinilah semuanya itu ada dalam diriku, dan sejak masuk disinilah aku
menjadi berubah 180 derajat dari yang dulu. Hingga pada akhirnya masa ujian
sudah di depan mata.
Aku dan sahabat
sahabatku lebih keras lagi dalam belajar, namun masih banyak ternyata yang belum
kami kuasai, dan ternyata bukan kami saja,semua teman-teman kami merasakan hal
yang sama. Jika ada pilihan untuk menunda mengikuti ujian, pasti kami semua
memilih untuk mengundurnya. Namun pilihannya hanya ada dua, mengikuti dan
berusaha semaksimal mungkin untuk bisa lulus dengan maksimal atau mundur dan
mengulang masa SMA selama satu tahun
lagi. Tentunya kami tak mau untuk mengulang satu tahun lagi, kami berusaha
semaksimal mungkin untuk mengejar apa yang belumbisa kami kejar. Apapun cara
untuk kami bisa mengejar ketinggalan kami lakukan, les, kelompok, apapun kami
lakukan.
Disamping kita harus
belajar, kita juga harus memutuskan kemana kita setelah masa SMA ini. Berbagai tawaran
dari berbagai universitas datang kesekolah, mengadakan bazzar universitas
secara serentak. Namun aku sama sekali belum mendapatkan kecerahan kemana aku
nanti, namun aku memutuskan untuk masuk dalam perguruan tinggi negeri. Tawaran demi
tawaran dari perguruan tinggi swasta yang banyak mampir ke sekolah kami(secara
sekolahku sekolah swasta). Banyak temanku yang memutuskan untuk masuk ke dalam
perguruan tinggi swasta, dan segala keperluan berkasnya telah di urus oleh
sekolah. Namun aku tak pernah mendengar sedikitpun tentang perguruan tiinggi
negeri, hanya kata ya dan ya dan ya saja yang aku dengaran saat itu dari
guru-guruku. Hingga pada saatnya, aku mendengar dan aku mulai sirfing di dunia
maya untuk mendapatkan informasi yang aku butuhkan. Apapun informasi yang aku
dapatkan aku oelajari dan aku mengerti, meski banyak yang tidak aku mengerti
teknisnya, namun untuk ada kakak ku yang sudah berada di perguruan tinggi dua
tahun di atasku, dialah yang menjelaskan kepadaku tentang apa yang aku
bingungkan.
Hingga pada akhirnya aku
mengerti tata caranya, aku meninformasikannya kepada teman-teman dan guru-guru
yang menangani hal ini. Namun tetap, aku malah tak direspon sedikitpun, malahan
aku di anggap sebagai budaknya, setiap hari aku menginformasikan, dan tidak ada
yang bertanya kabar dan keinginan untuk membahasnya denganku. Dan aku sadar
jika mereka bersikap seperti itu, aku hanyalah siswa dari keluarga miskin,
bapak ku hanyalah seorang tukang becak dan juga bekerja serabutan, ibu ku hanya
ibu rumah tangga yang membantu dengan bekerja, penghasilan yang pas-pas an,
status yang melatarbelakangi, yah. Namun aku tak pernah sedikit pun merasa
sedih jika semua orang menganggap aku seperti itu, aku hanya tulus menolong,
namun apa balasannya, aku diperlakukan seperti itu. Hingga pada akhirnya aku
memutuskan untuk memohon kepada kepala sekolah, meminta ijin untuk memproses
segala sesuatunya sendiri, dan aku akan menginformasikan kepada teman-teman,
dan jika tidak ada yang merespon, biarkan mereka sendiri yang nantinya akan
menerimanya, karena aku bukan mesin dan budak untuk melengkapi dan menyediakan
untuk mereka.
Dan akhirnya tutup sudah
pendaftaran itu, banyak yang kecewa dan tidak mendaftar. Namun semuanya sudah
berlalu. Aku sejak saat itu mulai dimusuhi dan tidak di anggap, terutama
guru-guru yang ada disana. Entah apa yang ada dalam pikiran mereka, apakah
mereka malu karena aku mampu, dan mereka merasa tersaingi atau bagaimana. Aku didudukkan
di salahkkan di hina, aku menerimanya dengan lapang dada. Hingga pada akhirnya
ada seorang wali murid yang datang karena tidak terima anaknya tidak dapat
mendaftar ke perguruan tinggi negeri, datang kesekolah dan ternyata dari situ
pihak sekolah justru melimpahkan semuanya kepadaku. Aku didudukkan dengan wali
murid itu bersama guru agamaku, dan di sana aku di lecehkan di hina sampai
sampai aku di pukul oleh wali murid yang bukan orang tuaku. Hingga pada
akhirnya kami keluar, aku menangis sekeluar dari sana, apakah ini cobaan ya Tuhan, kenapa seberat ini ya Tuhan, mampukah hamba?.
Hanya itu yang aku ucap, aku menangis bukan karena aku di lecehkan, namun kedua
orang tuaku lah yang mereka lecehkan, bagaimana pun orang tua ku, hanya mereka
yang aku miliki, membuat aku bahagia, dan tak ada seorang pun yang boleh
menghina mereka.
Setelah sore kejadian
itu berlalu, aku membawanya ke rana hukum, karena aku di tampar disana, dalam
keadaanku yang tidak sehat pula, dan
tanpa hak mereka menampar aku. Dan pada akhirnya itu di proses. Semua berkas
masuk, wartawan juga sempat datang kesekolah. Namun, aku di anggap hanya
menggertak, guru agama ku mengecek ke kantor polisi dan ternyata berkas sudah
diproses, baru sadar dan percaya, memohon merayu membujuk untuk aku mencabut
hal itu. Dan sama sekali aku tak merespon, aku hanya ingin memberikan pelajaran
bagi mereka yang sudah melecehkanku, dan jangan sampai ada bucha bucha yang
lainnya. Hingga pada akhirnya lima hari sebelum ujian nasional adalah sidang
pindana pertama ku melawan guru dan wali murid, aku berangkan sendir ditemani
bapak ku, dengan support dari berbagai pihak, aku menjadi kuat, dan pada
akhirnya aku mengalahkan mereka berdua serta pengacara yang mendampingi mereka.
Menangis di kantor persidangan, sebelum persidangan dimulai, datang dengan
tidak tepat waktu, sudah menandakan ketakutan dari mereka. Bahkan saat itu yang
menjadi saksi adalah guru agama ku, dia juga orang yang membenciku, hanya
bertekad keberanianlah aku memakai dia yang memusuhi aku, karena jika dia
berani mengatakan apa yang sebaliknya, maka hilanglah predikatnya sebagai
seorang guru agama. Selepas persidangan itu, hukuman di jalankan bagi mereka,
dan aku tetap mengikuti sekolah seperti biasanya dan siap menghadapi soal-soal
unjian nasional. Dan yang lebih membuat aku percaya diri saat itu bukan karena
itu saja, karena aku juga sudah diterima di salah satu perguruan tinggi sebelum
ujian nasional, dan hanya aku yang berhasil masuk pertama dari sekian banyak
temanku (aku masuk bukan dari jalan yang menjadi persidangan itu, namun dengan
jalan lain).
Setelah pengumuman tiba, ijazah dibagikan, aku merasakan hal yang sama,
ijazah yang sudah ditunggu untuk registrasi ulang tidak kunjung di berikan,
hingga pada akhirnya aku memaksa dan mengancam hingga ijazah itu aku dapatkan. Dan
semenjak kejadian itu pula aku tidak begitu peduli akan apa yang terjadi di
sana, sejatinya bukan aku yang mengawali kejadian itu. Aku disana hanya sebagai
siswa, namun karena keadaan yang memaksa, aku menjadi banyak tahu tentang guru
dan sekolahku. Yang aku bisa lakukan hanyalah mendoakan mereka untuk bisa
berubah kearah yang lebih baik saja. Janganlah perilaku yang buruk terus ada
dalam diri mereka, sadar dan berbuat baiklah selagi masih ada kesempatan untuk
melakukan hal itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar